Jika berhaji atau umrah, sesudah
melaksanakan thawaf tujuh putaran dan berdoa sejenak di Multazam, umat
Islam disunatkan salat di belakang maqam Ibrahim. Maqam Ibrahim sendiri
lokasinya masih di dekat Ka’bah, tidak jauh dari Multazam.
Secara harafiah maqam berarti tempat
berdiri yang bermakna kedudukan. Riwayat-riwayat menyatakan maqam
Ibrahim awalnya adalah batu yang digunakan oleh Nabi Ibrahim as untuk
berdiri ketika kembali membangun Ka’bah. Di batu itu tampak jelas bekas
pijakan kaki yang dipercaya sebagai jejak kaki Nabi Ibrahim as.
Batu itu digunakan Nabi Ibrahim as untuk
berpijak dan memanjat agar bangunan Ka’bah dapat lebih tinggi lagi,
walaupun sebenarnya Nabi Ibrahim as dinilai telah menunaikan tugas jika
Ka’bah ketika itu hanya setinggi jangkauan tangannya.
Allah SWT menghargai upaya Nabi Ibrahim
as yang telah melaksanakan perintah melebihi kewajiban yang dibebankan
kepadanya dengan mengabadikan jejaknya untuk menjadi pelajaran bagi
setiap orang, bahwa melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang dilakukan
merupakan hal terpuji.
Pada masa jahiliyah dan zaman pra Islam,
batu itu diletakkan bersisian dengan Ka’bah. Namun para sahabat nabi
enggan salat di belakang maqam itu karena mereka tidak ingin ada sesuatu
yang menghalangi atau membatasinya dengan Ka’bah.
Umar bin Khatab kemudian mengusulkan
kepada Nabi Muhammad SAW supaya arah di mana maqam itu berada dibenarkan
pula untuk mejadi tempat salat. Usul itu diperkenankan Allah SWT, maka
turunlan perintah:
wa-idz ja’alnaa albayta matsaabatan lilnnaasi wa-amnan waittakhidzuu min maqaami ibraahiima mushallan wa’ahidnaa ilaa ibraahiima wa-ismaa‘iila an thahhiraa baytiya lilththaa-ifiina waal’aakifiina waalrrukka’i alssujuudi
“Dan (ingatlah), ketika
Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan
tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim [89] tempat
shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
“Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang
ruku’ dan yang sujud”. (Al Baqarah 2:125).
Sebab turunnya ayat diatas:
Diriwayatkan oleh
Bukhari dan lain-lainnya dari Umar, katanya, “Jalan pikiranku sesuai
dengan kehendak Tuhanku dalam tiga perkara. Aku katakan kepada
Rasulullah saw., ‘Bagaimana jika Anda ambil sebagian makam Ibrahim
sebagai tempat salat?’ Maka turunlah ayat, ‘Dan jadikanlah sebagian
makam Ibrahim sebagai tempat salat.’ (Q.S. Al-Baqarah 125).
Kata aku pula, ‘Wahai
Rasulullah! Yang masuk ke tempat para istri Anda itu ialah orang
baik-baik dan orang jahat. Bagaimana kalau mereka Anda suruh memakai
hijab?’ Maka turunlah ayat mengenai hijab. Kemudian istri-istri Nabi
berdiri dalam satu barisan menentang beliau disebabkan rasa cemburu.
Maka aku katakan kepada mereka, ‘Siapa tahu kalau-kalau beliau
menceraikan kalian, maka Tuhannya akan mengganti kalian dengan
istri-istri yang lebih baik dari kalian!’ Maka turunlah pula ayat
seperti ini.
Riwayat ini mempunyai
jalur yang banyak, di antaranya ialah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hatim
dan Ibnu Murdawaih, dari Jabir, katanya, “Tatkala Nabi saw. melakukan
tawaf, berkatalah Umar kepadanya, ‘Bukankah ini makam bapak kita,
Ibrahim?’ Jawabnya, ‘Memang benar.’ Kata Umar pula, ‘Kenapa tidak kita
jadikan tempat ini sebagai tempat salat.’ Maka Allah pun menurunkan,
‘Dan jadikanlah sebagian makam Ibrahim sebagai tempat salat!'” (Q.S.
Al-Baqarah 125).
Diketengahkan pula oleh
Ibnu Murdawaih, dari jalur Amar bin Maimun, dari Umar bin Khattab,
bahwa ia lewat dimakam Ibrahim, maka tanyanya, “Wahai Rasulullah!
Tidakkah kita akan berdiri di makam Ibrahim berdoa kepada Tuhan kita dan
Tuhan Nabi Ibrahim?” Jawabnya, “Benar.” Kata Umar, “Bagaimana kalau
kita jadikan tempat ini sebagai tempat salat.” Tidak lama kemudian
turunlah, “Dan jadikanlah sebagian makam Ibrahim sebagai tempat salat!”
(Q.S. Al-Baqarah 125). Keterangan ini dan yang sebelumnya pada lahirnya
menunjukkan bahwa ayat ini turun di waktu haji Wada.
Jadi, ayat ini hanya memerintahkan untuk
salat di sana, bukan mengkultuskan. Kini maqam yang menampakkan sepasang
telapak kaki Nabi Ibrahim as itu terletak dalam wadah batu pualam
marmer, dengan pondssi juga dari marmer dengan ukuran 1 meter pada
sisi-sisinya dan ketinggian 36 cm.
Pada tahun 1387 H/1867 M batu itu
diletakkan dala, kaca kristal yang diliputi besi dan batu marmer seluas
180×130 cm atau 2,4 meter.
Sebelum ini, batu diletakkan dalam sebuah
bangunan lemari perak yang diatasnya dibuat peti dengan ukuran 6×3
meter, atau seluas 18 meter persegi. Namun karena dianggap mengganggu
saat dilaksanakan thawaf, bangunan itu dibongkar.
Kemudian dilakukan lagi penyempurnaan
atas perintah Raja Fahd dengan mengganti rangka tembaga baru dan bagian
dalamnya dilapisi emas, sedangkan luarnya dilapisi kaca bening setebal
10 mm yang tahan panas dan tidak mudah pecah. Penyempurnaan rampung
tahun 1418 H. (Sumber buku: Haji dan Umrah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar