Pada
akhirnya, menjadi menarik mencermati bagaimana mereka, entah mewakili
pribadi ataupun suku, yang berperang demi kekuasaan di Tanah Mekkah,
akan selalu berusaha mengagungkan dan mensucikan Ka’bah, bahkan ketika
mereka sebetulnya hanyalah seorang Penganut Agama Pagan. Atau ketika
mereka merebut kekuasaan tersebut lewat cara yang zalim.
Seperti
kita tahu, Ka’bah adalah Rumah Suci pertama yang dibangun di bumi (QS
3: 96). Mula-mula dibangun oleh Nabi Adam as, kemudian direnovasi oleh
Nabi Syits, kemudian rusak diterjang banjir bandang di masa Nabi Nuh as,
dan dipugar kembali oleh Sang Kekasih Allah, Nabi Ibrahim as beserta
anaknya yang salih, Nabi Ismail as.
Terletak di
lembah Mekkah yang dibentengi bukit-bukit, Ka’bah menjadi Pusat
Peribadatan manusia (QS 5 : 97). Marting Lings, dalam bukunya Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik mencatat
bahwa sepeninggal Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, Ka’bah menjadi
pusat ziarah Penganut Agama Ibrahimiyah, Yahudi, bahkan Nasrani.
Dampaknya,
Mekkah yang dulunya merupakan gurun gersang tak berpenghuni, semakin
lama semakin berkembang menjadi sebuah kota dengan arus perputaran uang
dan pengaruh yang besar. Mereka yang memegang kekuasaan atas Mekkah,
akan dihormati oleh para peziarah selama mereka mampu mengakomodir
kebutuhan spiritual mereka.
Sejarah mencatat,
kabilah Jurhum-lah yang mula-mula menjadi Penguasa Mekkah selepas Nabi
Ismail as wafat. Hal ini karena Nabi Ismail as menikahi putri dari
Madhah bin Amr, pemimpin sekaligus pemuka kabilah Jurhum. Setelah itu,
kekuasaan atas Mekkah dikendalikan oleh suku Jurhum, sedangkan anak
keturunan Nabi Ismail as, walaupun mereka dihormati, mereka sama sekali
tidak diberi kekuasaan sedikitpun.
Periode ini berlangsung selama 20 abad.
Di
akhir periode kekuasaan Jurhum, terjadi perang Bukhtunsar I dan II.
Pasca perang ini, suku Jurhum semakin terpuruk sehingga mereka berbuat
sewenang-wenang kepada para Jemaah Haji dan bahkan, merampok kas negara.
Di sisi lain, dampak dari perang ini adalah semakin bersinarnya Bani
Adnan, salah satu keturunan Nabi Ismail as.
Ketika
suku Khuza’ah lewat di Marr Azh Zahran, di sekitar Mekkah dan
mengetahui prihal kemarahan Bani Adnan atas prilaku suku Jurhum, mereka
pun menyerang suku Jurhum dengan bantuan Bani Bakr. Suku Jurhum yang
terusir, membalas dendam dengan menimbun sumur zamzam beserta harta dan
alat perang mereka untuk suatu saat bisa kembali dan membalas dendam.
Inilah
pertumpahan darah pertama pasca meninggalnya Nabi Ismail as dalam
rangka berebut pengaruh atas Mekkah. Tapi walaupun direbut melalui
pertumpahan darah, suku Khuza’ah berusaha seamanah mungkin menjaga dan
mengagungkan Ka’bah. Mensucikannya. Ribuan jemaah Haji tetap silih
berganti berziarah ke sana. Dengan aman dan tenteram.
Muncullah
Amr bin Luhai, pemuka suku Khuza’ah yang terkenal salih, yang membawa
berhala Hubal ke Ka’bah, bukan dalam maksud merendahkan Rumah Suci
tersebut, melainkan karena dia berpikir berhala tersebut dapat
mendekatkan mereka kepada Allah. Dia seorang pedagang yang sering
mengunjungi Syam, dan suatu ketika melihat orang-orang Syam menyembah
berhala dan berpikir, “Ah ini dia, Negeri Syam, Negeri Para Nabi, mereka
menyembah berhala untuk menjadi perantara kepada Allah. Aku harus
mengikutinya!”
Sejak saat itu, berhala-berhala
lain datang ke Mekkah. Sebagian dibawa oleh suku Khuza’ah, sebagian lagi
dibawa serta oleh para Jemaah Haji. Kurban-kurban pun disembelih dan
darah ditumpahkan di hadapan berhala-berhala tersebut, demi berharap
ridha Allah. Kaum Yahudi dan Nasrani yang sadar bahwa penyembahan itu
malah mengotori kesucian Ka’bah, memilih berhenti berziarah ke Mekkah
dan memusatkan ibadah mereka di Yerusalem.
Pertumpahan
darah kedua terjadi di masa leluhur Rasulullah, Qusai bin Kilab. Ketika
suku Khuza’ah berhasil mengusir suku Jurhum, mereka memonopoli
kekuasaan atas Mekkah oleh suku mereka sendiri dan hanya melibatkan
kabilah Mudhar dalam urusan pengelolaan Jemaah Haji. Anggota Bani Adnan
yang lain, seperti halnya keturunan Nabi Ismail as di masa suku Jurhum,
sama sekali tidak dilibatkan.
Kemudian, ketika
Qusai bin Kilab menikahi Hubba, putri dari Pemimpin Suku Khuza’ah,
Hulail bin Habasyah, beliaupun menjadi orang yang terpandang di Mekkah.
Ketika Hulail bin Habasyah meninggal, kekuasaan atas Mekkah jatuh ke
tangan Hubba, yang secara otomatis, jatuh pula ke tangah Qusai bin
Kilab.
Qusai pun mengklaim bahwa beliaulah yang
lebih berhak memerintah Kota Mekkah. Suku Khuza’ah tidak terima. Bersama
Bani Bakr mereka pun berperang melawan suku Quraisy dan Bani Kinanah
yang dipimpin langsung oleh Qusai. Uniknya, mereka bersengaja keluar
dari Mekkah untuk menumpahkan darah demi jabatan Mensucikan dan
Mengagungkan Ka’bah!
Qusai bin Kilab menang, entah
itu dalam peperangan maupun ketika masalah ini dibawa kepada Ya’mur bin
Auf, seorang bijak. Sejak saat itu, kendali atas Mekkah berada di tangan
suku Quraisy.
Ketika Rasulullah SAW diangkat
menjadi seorang Rasul, kaum Quraisy melakukan upaya intimidasi atas kaum
muslim, setidak-tidaknya karena 3 hal, (1) ketakutan akan turunnya
pengaruh mereka, (2) ketakutan akan ‘nama baik’ mereka di mata Jemaah
Haji dari seluruh penjuru dunia karena mereka berpikir Rasulullah SAW
itu sesat, serta (3) karena mereka berpikir bahwa klaim Rasulullah SAW
telah menghina kesucian berhala-berhala yang secara otomatis akan
menodai kesucian Ka’bah.
Dalam upaya
mempertahankan keyakinan ini—yang bagi Quraisy berarti keyakinan untuk
mensucikan Ka’bah dari agama baru ajaran Rasulullah SAW yang menghina
agama leluhur; dan bagi umat Muslim berarti keyakinan untuk
mengembalikan kesucian Ka’bah yang dikotori berhala-berhala—perang demi
perangpun pecah: entah itu Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan lain
sebagainya.
Mekkah jatuh ke tangan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah
yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Barangkali inilah satu-satunya
momen penaklukkan Mekkah dengan korban yang minimal. Jika saja kaum
Quraisy pada waktu itu patuh pada usulan Abu Sufyan, Fathu Makkah
akan bersih dari darah. Tapi sebagian mereka memilih melawan sehingga
pasukan Khalid bin Walid pun terpaksa mengeluarkan pedang.
Lebih lengkap di buku "The Lost Story Of Ka'bah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar