LiburanMurah.co

Senin, 31 Agustus 2015

keajaiban haji yang nyata

Kisah-kisah ajaib selama di tanah suci banyak sekali. Saya sebetulnya enggan menuliskannya di sini, sebab sudah banyak yang bercerita, dan pasti akan segera menambahkannya dengan versinya sendiri-sendiri. Soal sebab mengapa bisa terjadi peristiwa ajaib itu, juga sudah diulas panjang lebar secara ilmiah oleh sarjana teknik nuklir Agus Mustofa dalam bukunya “Pusaran Energi Ka’bah”. Barangkali ada baiknya saya mencoba memaknai peristiwa-peristiwa ajaib tersebut menurut pemahaman saya. Jadi bukan soal apa dan mengapa peristiwa itu terjadi, tetapi bagaimana menyikapinya atau hikmah apa yang terkandung di dalamnya.

Sekian tahun yang lalu saya pernah menerbitkan tabloid “Koran Haji” yang sayangnya hanya terbit pertama dan terakhir kali karena persoalan manajemen. Laporan utama koran itu berkisah mengenai keajaiban di tanah suci ini. Waktu itu saya menyebutnya “misteri” tetapi KH Agus Ali Mashuri, pimpinan pondok pesantren Bumi Sholawat Tanggulangin, tidak setuju, “tidak ada misteri di sana, calon jamaah haji jangan ditakut-takuti dengan apa yang disebut misteri itu…,” katanya. Hal yang senada disampaikan penyair D. Zawawi Imron, “ibadah haji itu bukan misteri, bahkan tidak ada misterinya. Apa yang disebut misteri itu sesungguhnya merupakan ritual ibadah karena akal manusia memang belum sampai.

Menurut Agus Mustofa, berbagai kejadian aneh yang terjadi selama orang menjalani ibadah di tanah suci itu sebetulnya dapat dinalar dengan logika. Begitu juga dengan doa yang dipanjatkan depan Multazam bisa dikabulkan. Kesemuanya dapat dijelaskan secara rasional, bukan mistis. Salah satu sebabnya adalah faktor Ka’bah, dimana gerakan orang melingkar tawaf dalam sebuah medan gaya dapat menyebabkan munculnya energi yang sangat bermanfaat. Putaran orang bertawaf itu telah menghasilkan energi gelombang elektromagnetik yang sangat besar, bersifat positif, dan mampu mengobati berbagai ketidak-seimbangan energi dalam tubuh manusia. Dalam Kaidah Tangan Kanan yang terdapat dalam ilmu fisika dijelaskan, ”jika ada sebatang konduktor (logam) dikelilingi oleh listrik yang bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, maka di konduktor itu akan muncul medan gelombang elektro magnetik yang mengarah ke atas.”


Bahwa tubuh manusia itu mengandung aliran listrik dalam jumlah besar yang dibawa oleh milyaran bio-elektron, sehingga ketika ada jutaan manusia tawaf mengelilingi Ka’bah, ini menjadi sebuah arus listrik yang sangat besar berputar-putar berlawanan dengan arah jarum jam mengitari Ka’bah. Hajar Aswad adalah konduktornya, bahkan super konduktor. Energi yang sangat besar pada Ka’bah itulah yang dapat diterima oleh jamaah Haji karena mereka sejak awal sudah membuka diri terhadap segala hal yang bakal terjadi selama menjalankan ibadah Haji. Ibarat sekolah, kita sudah mendaftarkan diri. Bagi mereka yang tidak membuka diri, seperti pedagang, petugas kebersihan atau para penjual jasa, maka kemungkinan terkena percikan energi sangat kecil.

Mengingat besarnya pusaran medan magnit yang dihasilkan dari putaran manusia dengan poros Ka’bah, tentu akan menyebar ke berbagai tempat di sekitarnya. Dan magnit itu akan tersebar luas, terbawa oleh orang-orang yang telah melakukan tawaf sehingga beberapa tempat yang dikunjungi jamaah Haji juga memiiki kepekaan yang sangat tinggi. Wajar jika doa yang dipanjatkan saat ibadah Haji mudah dikabulkan.

Disamping Ka’bah, ada faktor Nabi Ibrahim, manusia berhati lembut yang memiliki energi positif luar biasa, yang kemudian menyebar ke seluruh karya-karyanya, termasuk Ka’bah. Ada lagi faktor Hajar Aswad sebagai “pintu” masuk dan keluarnya energi Ka’bah, dan juga Multazam. Seperti seorang penyiar radio, saat berbicara di depan mikrofon, sebenarnya dia sedang menumpangkan suaranya pada gelombang elektromagnetik yang dihasilkan peralatan pemancarnya. Hal yang sama terjadi ketika berdoa di depan Multazam. Kekuatan doa itu menjadi berlipat-lipat kali karena terbantu oleh power yang sedemikian besar menuju Arasy Allah. Ka’bah telah berfungsi sebagai pemancar radio.

Saya kira kutipan dari buku Agus Mustofa itu sudah cukup menjelaskan soal mukjizat di tanah suci tersebut. Banyak cerita yang menyebutkan sikap orang meremehkan sesuatu, menganggap enteng arah menuju suatu tempat, akhirnya malah kesasar. Seperti misalnya: “Sudahlah saya ditinggal saja, nanti berangkat sendiri, masak kesasar,” kata seseorang. Apa yang terjadi? Dia menghilang sejak pagi hingga sore hari, sampai akhirnya diantar orang lain balik ke hotel. Karena itu, sikap yang benar adalah, “ya sudahlah saya ditinggal tidak apa-apa, Insya Allah kita nanti bertemu di sana.” Perhatikan perbedaan semangat pada kedua kalimat tersebut. Yang pertama bersikap jumawa, sedangkan yang kedua bersikap pasrah padaNYA.

Password-nya adalah pada kata Insya Allah. Tapi sayangnya kata itu sering disalahgunakan untuk menjadi alibi ketika tidak bisa menepati janji. “Kapan mau ke rumahku?” Dijawab, Insya Allah besok.” Dan ketika besok dia tidak muncul, maka alasannya adalah, “kan saya sudah bilang Insya Allah.” Banyak orang yang merasa aman melanggar janji hanya karena sudah mengatakan “Insya Allah” sebelumnya. Bahkan sama sekali tidak ada upaya untuk betul-betul menepati janji (hanya karena kendala gerimis misalnya), tidak ada pemberitahuan pembatalan atau penundaan, dan bahkan kadang-kadang tidak merasa perlu menyampaikan maaf. Padahal, makna Insya Allah adalah sebuah kepasrahan padaNYA bahwa segala sesuatu yang tidak akan bisa lepas dari kuasaNYA. Tetapi manusia wajib berusaha untuk mencapainya semaksimal mungkin, dan tidak pagi-pagi langsung menjadikanNYA sebagai tameng atas kemalasannya.

Sebuah cerita menarik, di sebuah kantor koran ada seorang wartawan ditanya atasannya, yang pernah sekolah dan lama tinggal di Amerika, “komputer ini bisa dipakai?” Dia menunjukkan sebuah komputer di depan wartawan itu. Maka dijawablah, “Insya Allah bisa.” Maka meledaklah tawa direktur muda itu, “kalau komputer yaa tidak perlu pakai Insya Allah……” Bagaimana sampeyan memaknai dialog tersebut?

Jadi, selama berada di tanah suci, kita dilatih untuk bersikap tidak sombong, dan supaya selalu memperhitungkan bahwa segala sesuatu itu terjadi hanya karena Allah mengijinkannya.

Demikian pula password Astaghfirullah hal adzim, adalah sikap berendah diri, mohon ampun atas kesalahan yang dengan mudahnya dilakukan manusia, disadari atau apalagi tanpa disadari. Kita mohon ampun karena telah melecehkan dan bersikap sinis bahkan menghina seseorang, kita mohon ampun lantaran kita merasa lebih tinggi atau lebih baik dan lebih mulia dibanding orang lain.

Pertanyaannya kemudian, apakah hakekat kedua kata kunci tadi betul-betul dapat kita praktekkan dalam aktivitas sehari-hari? Dalam setiap langkah dan gerak kita sehari-hari, sebaiknya kita ingat akan kekuasaanNYA dan betapa sangat kecilnya diri kita sendiri, manusia hina yang penuh dengan dosa. Wuaduh, kok saya jadi ceramah agama yaaa….. Maaf, maaf, maaf…… Saya hanya ingin mengatakan, bahwa segala sesuatu yang disebut-sebut sebagai keajaiban selama di tanah suci itu adalah semacam “demonstrasi” dari kekuasaanNYA (mudah-mudahan saya tidak keliru). Maksudnya, Allah sudah memberikan balasan langsung terhadap perbuatan baik dan buruk kita. Jangan pernah merasa sangsi lagi.

Berbekal kata sakti Insya Allah dan Astaghfirullah itulah saya tidak mengalami hambatan yang berarti selama menjalani umrah. Semua hal saya syukuri, Alhamdulillah, termasuk sangu saya yang pas-pasan sehingga tidak bisa memborong oleh-oleh dan tidak tergoda menjadi turis. Saya bersyukur karena wasir kumat sehingga saya teringat betapa yang namanya penyakit itu ternyata bisa menghambat aktivitas saya. Saya bersyukur ketika betis terasa keras dan badan lemes karena terlalu sering berjalan selama umrah. Karena dengan bersyukur itu saya bisa merasakan betapa pentingnya kesehatan dan kekuatan yang selama ini diberikan Allah tanpa pernah saya sadari. Saya bersukur atas kesehatan saya, atas harta saya, semua milik saya, pekerjaan saya, dan apa saja yang saya punyai atau tidak saya punyai. Kondisi yang enak dan tidak enak, semuanya saya syukuri saja, tanpa kecuali. Saya pasrah saja.

Kepasrahan itu sangat penting, karena DIA akan menjalankan skenarioNYA tanpa kita tahu arahnya. Sebagai contoh, bayangkan, menjelang pulang ke tanah air, bus mampir ke sebuah kompleks pertokoan di Jeddah. Sudah jauh dari tanah suci. Maksudnya hendak makan siang di restoran yang ada di situ. Pada saat bus berhenti, beberapa pedagang asongan menawarkan berbagai macam barang: Minyak wangi, boneka yang bisa bernyanyi, gantungan kunci yang bisa mengeluarkan suara kucing, arloji berwarna emas dan sebagainya. Hampir semua peserta umrah dalam bus itu membelinya, rata-rata lebih dari satu. Saya dan isteri hanya diam saja, meski berulangkali ditawari, sebab sisa uang di tas hanya 4 (empat reyal), sementara uang rupiah di dompet hanya cukup untuk naik taksi dari bandara. Isteri saya memang sempat melihat-lihat barang itu, bertanya harganya, namun tidak berani menawar berapapun. Dia berbisik pada saya, “aku kepingin belikan Puteri Pak, jam itu pasti dia suka.” Dia menyebut nama anak ragil kami, yang memang beraktivitas di dunia modelling dan fashion.

Apa yang terjadi? Tidak berapa lama kemudian seorang pedagang arloji memberikan sebuah jam tangan berwarna emas (tentu bukan emas sungguhan) kepada isteri saya. “Halal, halal Hajjah….” Isteri saya tidak paham apa maksudnya. Mungkin menawari supaya membeli. Tetapi pedagang itu kemudian turun bus dan tidak kembali lagi. Saya sempat agak marah, karena kelihatannya isteri saya merasa senang, “kembalikan, tunggu saja nanti dia pasti balik lagi….” Belum sampai pedagang arloji itu balik lagi, kejadian yang sama juga terjadi pada pedagang minyak wangi. Dia juga berkata, “Halal, halal Hajjah….” Dia juga kemudian turun bus dan tidak kembali lagi….. Saya masih menunggu sampai bus benar-benar meninggalkan tempat itu. Sebuah arloji dan minyak wangi masih dalam genggaman tangan istriku. Dan kedua pedagang itu tidak tahu kemana perginya. Siapakah mereka? Jangan-jangan…….

Berbagai keajaiban di tanah suci dan selama menjalani umrah (apalagi Haji) hanyalah setitik debu dari besarnya mukjizat yang ditunjukkan Allah. Tantangannya adalah, apakah kita hanya “menikmati” hal itu semata-mata sebagai “atraksi wisata” ataukah sebuah peringatan Allah agar kita menjadi mabrur sepulang umrah atau haji. Konon, yang disebut mabrur itu kalau sepulang dari tanah suci kita menjadi makin taat beribadah, makin sholeh, makin banyak berbuat baik dan memberikan manfaat kepada banyak orang. Saya tidak bisa membayangkan, andaikata Gusti Allah langsung memberikan hukuman atas dosa yang kita perbuat dalam keseharian, pasti sudah dhedhel dhuwel (berantakan) diri kita ini.

Berbagai peristiwa ajaib itu, sebagaimana diingatkan oleh KH. Agus Ali Mashuri, janganlah dimaksudkan untuk menakuti-nakuti calon jamaah Haji. Konon sholat di Masjid Masjidil Haram berpahala sama dengan 100.000 kali sholat di masjid lainnya. Sementara di masjid Nabawi Madinah, berpahala seribu kali. Apakah itu yang membikin orang “iri” dengan yang berkesempatan pergi umrah atau Haji? Bagaimana kalau misalnya kita berdoa sangat khusuk di kamar sendiri saja, apakah Gusti Allah tidak bisa langsung menerimanya sebagaimana kalau doa itu disampaikan di depan Multazam. Apakah ini adil? Bukankah Haji itu hanya wajib bagi yang mampu? Bahkan, sekarang ini, untuk bisa pergi haji reguler saja harus menunggu giliran di atas 10 (sepuluh) tahun. Umrah juga hanya sunnah. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki harta cukup untuk pergi ke tanah suci?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar